Rabu, 23 Oktober 2013

SHALAT JENAZAH ATAU MENYALATKAN MAYIT




SHALAT JENAZAH (MENYALATKAN MAYIT)

1. Hukum shalat jenazah adalah fardhu kifayah berdasarkan keumuman perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk menyalati jenazah seorang muslim.
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang orang yang bunuh diri dengan anak panah:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Shalatkanlah saudara kalian.
[HR Muslim].

2.Tata cara shalat jenazah.

a. Imam berdiri sejajar dengan kepala mayit lelaki dan bila mayitnya wanita, imam berdiri di bagian tengahnya. Makmum berdiri di belakang imam. Disunnahkan untuk berdiri tiga shaf (barisan) atau lebih. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ ثَلَاثَةُ صُفُوفٍ فَقَدْ أَوْجَبَ
 
“Barangsiapa yang menyalatkan jenazah dengan tiga shaf, maka sesungguhnya dia diampuni.”
[HR At Tirmidzi]

b. Kemudian bertakbir yang pertama, membaca Al Fatihah setelah ta'awwudz, tidak membaca do'a iftitah sebelum Al Fatihah. Kemudian takbir yang kedua, membaca shalawat kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana dalam tasyahhud. Setelah takbir yang ketiga, membaca do'a untuk mayit. Sebaik-baik do'a adalah sebagai berikut:

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَمَيِّتِنَا وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا وَصَغِيرِنَا وَكَبِيرِنَا وَذَكَرِنَا وَأُنْثَانَا
 
“Wahai, Allah! Ampunilah orang yang hidup di antara kami dan orang yang mati, yang hadir dan yang tidak hadir, (juga) anak kecil dan orang dewasa, lelaki dan wanita kami.”
[HR At Tirmidzi]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan beliau menambahkan:

اللَّهُمَّ مَنْ أَحْيَيْتَهُ مِنَّا فَأَحْيِهِ عَلَى الْإِيْمَانِ وَمَنْ تَوَفَّيْتَهُ مِنَّا فَتَوَفَّهُ عَلَى الْإِسْلَامِ اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ وَلَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ
 
“Wahai, Allah! Orang yang Engkau hidupkan di antara kami, maka hidupkanlah dia di atas keimanan. Dan orang yang Engkau wafatkan di antara kami, maka wafatkanlah ia di atas keimanan. Wahai, Allah! Janganlah Engkau halangi kami dari pahalanya, dan janganlah Engkau sesatkan kami sesudahnya.”
[HR Abu Dawud, shahih].
.
Begitu pula do’a :
.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مُدْخَلَهُ وَاغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا نَقَّيْتَ الثَّوْبَ الْأَبْيَضَ مِنَ الدَّنَسِ وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ وَأَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ عَذَابِ النَّارِ
 
“Wahai, Allah! Berilah ampunan baginya dan rahmatilah dia. Selamatkanlah dan maafkanlah ia. Berilah kehormatan untuknya, luaskanlah tempat masuknya, mandikanlah ia dengan air, es dan salju. Bersihkanlah dia dari kesalahan sebagaimana Engkau bersihkan baju yang putih dari kotoran. Gantikanlah baginya rumah yang lebih baik dari rumahnya, keluarga yang lebih baik dari keluarganya semula, isteri yang lebih baik dari isterinya semula. Masukkanlah ia ke dalam surga, lindungilah dari adzab kubur dan adzab neraka.“
[HR Muslim dari 'Auf bin Malik]

Apabila mayitnya seorang wanita, maka diganti dengan dhamir muannats….

(اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهَا وَارْحَمْهَا ....)

c. Kemudian takbir yang keempat dan berhenti sejenak. Kemudian salam ke arah kanan sekali salam.
.
Syaikh Ibnu Utsaimin menegaskan: "Pendapat yang benar, ialah tidak masalah (jika) salam dua kali, karena hal ini telah tertera di sebagian hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam." [Lihat Asy Syarhul Mumti' (5/424)]

Di antara dalil yang menunjukkan salam dua kali dalam shalat jenazah, yaitu hadits Ibnu Mas'ud.

ثَلاَثُ خِلاَلٍ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَفْعَلُهُنَّ تَرَكَهُنَّ النَّاُس,إِحْدَاهُنَّ التَّسْلِيْمُ عَلَى الْجَنَازَةِ مِثْلُ التَّسْلِيْمِ فِي الصَّلاَةِ

“(Ada) tiga kebiasaan (yang pernah) dikerjakan Rasulullah n , namun kebanyakan orang meninggalkannya. Salah satunya, (yaitu) salam dalam shalat jenazah seperti salam di dalam shalat.” (HR Al Baihaqi).
Maksudnya, dua kali salam seperti yang telah kita ketahui.

Syaikh Al Albani menyatakan, diperbolehkan hanya dengan satu kali salam yang pertama saja, karena hadits Abu Hurairah:

أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّىعَلَىالْجَنَازَةِ فَكَبَّرَ عَلَيْهَا أَرْبَعًا وَسَلَّمَ تَسْلِيْمَةً وَاحِدَةً
 
Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu shalat jenazah; Beliau bertakbir empat kali dan salam satu kali.
(HR Ad Daraquthni dan Al Hakim).
Al Baihaqi meriwayatkan dari jalan Abul 'Anbas dari bapaknya dari Abu Hurairah.(Ahkamul Janaiz, 128).
.
Dan disunnahkan untuk sirri (pelan) saat mengucapkan salam pada shalat jenazah.

d.Disunnahkan mengangkat tangan pada setiap kali takbir.
 
Terdapat hadits yang shahih dari Ibnu Umar secara mauquf, bahwasanya beliau mengerjakannya. Hadits ini memiliki hukum marfu', karena hal seperti ini tidak mungkin dikerjakan oleh seorang sahabat dengan hasil ijtihadnya.

Ibnu Hajar berkata: "Terdapat riwayat shahih dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau mengangkat tangannya pada seluruh takbir jenazah." [Diriwayatkan oleh Sa'id, di dalam At Talkhishul Habir (2/147)].

3.Tidak diperbolehkan shalat jenazah pada tiga waktu yang dilarang untuk mengerjakan shalat.Yaitu ketika matahari terbit hingga naik setinggi tombak, ketika matahari sepenggalah hingga tergelincir dan ketika matahari condong ke barat hingga terbenam. Ini disebutkan sebagaimana di dalam hadits 'Uqbah bin 'Amir.

4. Bagi kaum wanita, diperbolehkan untuk menyalatkan jenazah dengan berjama'ah. Dan tidak mengapa apabila shalat sendirian, karena dahulu Aisyah radhiyallahu 'anha menyalatkan jenazah Sa'ad bin Abi Waqqash.

5. Apabila terkumpul lebih dari satu jenazah dan terdapat mayat lelaki dan wanita, maka boleh dishalatkan dengan bersama-sama. Jenazah lelaki meskipun anak kecil, diletakkan paling dekat dengan imam. Dan jenazah wanita diletakkan ke arah kiblatnya imam. Yang paling afdhal di antara mereka, diletakkan di dekat adalah yang paling dekat dengan imam.

6.Dalam menyalatkan mayit, disunnahkan dengan jumlah yang banyak dari kaum muslimin. Semakin banyak jumlahnya, maka semakin baik.
 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مَيِّتٍ تُصَلِّي عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلَّا شُفِّعُوا فِيهِ
 
Tidaklah seorang yang mati, kemudian dishalatkan oleh kaum muslimin, jumlahnya mencapai seratus orang, semuanya mendo'akan untuknya, niscaya mereka bisa memberikan syafa'at untuknya.
[HR Muslim].

مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلًا لَا يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلَّا شَفَّعَهُمْ اللَّهُ فِيهِ
 
Tidaklah seorang muslim meninggal dunia, kemudian dishalatkan oleh empatpuluh orang yang tidak menyekutukan Allah, niscaya Allah akan memberikan syafa'at kepada mereka untuknya.
[HR Muslim].

7. Apabila seseorang masbuq setelah imam salam, maka dia meneruskan shalatnya sesuai dengan sifatnya.
 
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: "Apabila dia salam dan tidak mengqadha', tidaklah mengapa. Karena Ibnu Umar berkata,'Tidak mengqadha'. Dan dikarenakan shalat jenazah merupakan takbir-takbir yang beruntun ketika berdiri'." [Lihat Al Mughni (2/511)].

8. Apabila tertinggal dari shalat jenazah secara berjama'ah, maka dia shalat sendirian selama belum dikubur. Apabila sudah dikubur, maka dia shalat jenazah di kuburnya.

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam shalat jenazah di kuburan setelah mayat dikuburkan semalam. Suatu ketika setelah jarak tiga hari dan pernah jarak satu bulan. Beliau tidak memberikan batas waktu tertentu. [Lihat Zaadul Ma'ad (1/512)].

Jadi diperbolehkan shalat jenazah di kuburan mayat tersebut dan tidak ada batas waktu tertentu, dengan syarat bahwa ketika mayat tersebut mati, orang yang menyalatkan sudah menjadi orang yang sah shalatnya.

9. Diperbolehkan shalat ghaib bagi mayat yang belum di shalatkan di tempatnya semula. Karena Nabi menyalatkan Raja Najasyi yang meninggal dunia ketika Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mengetahui berita kematiannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Pendapat yang benar, mayat ghaib yang mati di tempat (di negara) yang belum dishalatkan disana, maka dishalatkan shalat ghaib. Sebagaimana Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan Najasyi, karena dia mati di lingkungan orang kafir dan belum dishalatkan di tempatnya tersebut. Apabila sudah dishalatkan, maka tidak dishalatkan shalat ghaib, karena kewajiban sudah gugur. Suatu saat, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayat yang ghaib, dan juga suatu ketika tidak menyalatkannya. Beliau mengerjakan dan Beliau meninggalkannya. Demikian ini merupakan sunnah. Yang satu dalam keadaan tertentu, dan yang lainnya dalam keadaan yang berbeda. Wallahu a'lam. Dan ini, juga merupakan pendapat yang dipilih Ibnul Qayyim rahimahullah." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/520)].

10. Diperbolehkan untuk menyalatkan mayat yang dibunuh karena ditegakkan hukum Islam atas diri si mayit. Sebagaimana di dalam hadits Muslim tentang kisah wanita Juhainah yang berzina, kemudian bertaubat. Usai dirajam, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkannya.

11. Seorang pemimpin kaum muslimin/ahli ilmu dan tokoh agama tidak menyalatkan orang yang mencuri harta rampasan perang,atau orang yang mati bunuh diri.

Dahulu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan seorang yang mencuri harta rampasan perang, akan tetapi Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyalatkannya. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

صَلُّوْا عَلَى صَاحِبِكُمْ

“Shalatkanlah saudara kalian.“
[HR Abu Dawud, shahih].

Dan Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mau menyalatkan orang yang mati karena bunuh diri. Dari Jabir bin Samurah Radhiyallahu 'anhu , berkata:
.
أُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِرَجُلٍ قَتَلَ نَفْسَهُ بِمَشَاقِصَ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْهِ 
.
Artinya:
“Seseorang yang membunuh dirinya dengan anak panah didatangkan kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau tidak mau menyalatkannya.
[HR Muslim].

Hal ini karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai imam (pemimpin), maka Beliau tidak mau menyalatkan supaya menjadi pelajaran bagi orang yang semisalnya. Akan tetapi, bagi kaum muslimin wajib untuk menyalatkannya.

12. Demikian pula bagi orang yang mati sedangkan dia meninggalkan hutang, maka dia juga dishalatkan.

13. Shalat jenazah boleh dikerjakan di dalam masjid. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha , beliau berkata:

وَاللهِ مَا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى سُهَيْلِ بْنِ بَيْضَاءَ وَأَخِيْهِ إِلَّا فِي الْمَسْجِدِ
 
Demi, Allah! Tidaklah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan jenazah Suhail bin Baidha' dan saudaranya (Sahl), kecuali di masjid.
[HR Muslim].

Akan tetapi, yang afdhal, dikerjakan di luar masjid, di tempat khusus yang disediakan untuk shalat jenazah, sebagaimana pada zaman Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam . [Lihat Ahkamul Janaiz (106), Asy Syarhul Mumti' (5/444)].

G. MENGIRINGI JENAZAH

1. Hukum mengiringi jenazah adalah fardhu kifayah, karena termasuk hak seorang muslim.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ (وَفِي رِوَايَةٍ: يَجِبُ لِلْمُسْلِمِ عَلَى أَخِيْهِ) خَمْسٌ رَدُّ السَّلَامِ وَعِيَادَةُ الْمَرِيضِ وَاتِّبَاعُ الْجَنَائِزِ وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ وَتَشْمِيتُ الْعَاطِسِ (رواه البخاري ومسلم)
 
Kewajiban seorang muslim terhadap muslim yang lain ada lima, (yaitu): menjawab salam, menjenguk orang sakit, mengiringi jenazah, menghadiri undangannya dan mendo'akan orang yang bersin.
[HR Bukhari dan Muslim].

2. Keutamaan mengiringi jenazah.
 
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ شَهِدَ الْجَنَازَةَ حَتَّى يُصَلَّى عَلَيْهَا فَلَهُ قِيرَاطٌ وَمَنْ شَهِدَهَا حَتَّى تُدْفَنَ فَلَهُ قِيرَاطَانِ قِيلَ وَمَا الْقِيرَاطَانِ قَالَ مِثْلُ الْجَبَلَيْنِ الْعَظِيمَيْنِ
(رواه مسلم)
 
Barangsiapa yang menyaksikan jenazah hingga dishalatkan, maka dia memperoleh satu qirath. Dan barangsiapa yang menyaksikannya hingga dikuburkan, maka dia memperoleh dua qirath,”.kemudian Beliau ditanya: “Apa yang dimaksud dengan dua qirath?” Beliau menjawab,”Seperti dua gunung yang besar.”
[HR Muslim].

3. Disunnahkan untuk bersegera ketika berjalan mengangkat jenazah.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, beliau berkata : Saya mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أَسْرِعُوا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ كَانَتْ صَالِحَةً قَرَّبْتُمُوهَا إِلَى الْخَيْرِ وَإِنْ كَانَتْ غَيْرَ ذَلِكَ كَانَ شَرًّا تَضَعُونَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ
(رواه مسلم)
 
“Bersegaralah kalian ketika membawa jenazah. Apabila dia orang shalih, maka kalian akan segera mendekatkannya kepada kebaikan. Dan apabila bukan orang shalih, maka kalian segera meletakkan kejelekan dari punggung-punggung kalian.”
[HR Muslim].

Al Allamah Shiddiq Hasan Khan rahimahullah berkata: “Pendapat yang benar ketika mengangkat mayit adalah berjalan sedang-sedang saja (tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat, Red.). Hadits-hadits yang menjelaskan akan bersegera, maksudnya tidak terlalu cepat ketika berjalan. Dan hadits-hadits yang menjelaskan untuk sederhana dalam berjalan, maksudnya bukan berjalan sangat lambat. Maka (makna) hadits-hadits tersebut digabungkan dengan mengambil tengah-tengah, antara ifrath dan tafrith. [Lihat At Ta'liqat Ar Radhiyyah, Syaikh Al Albani, hlm. 1/ 454].

4. Dianjurkan untuk mengangkat jenazah dari seluruh sudut keranda dengan sifat tarbi', yakni mengangkat dari empat sudut keranda, berdasarkan perkataan Ibnu Mas'ud Radhiyallahu 'anhu,

مَنْ اتَّبَعَ جِنَازَةً فَلْيَحْمِلْ بِجَوَانِبِ السَّرِيرِ كُلِّهَا فَإِنَّهُ مِنْ السُّنَّةِ ثُمَّ إِنْ شَاءَ فَلْيَتَطَوَّعْ وَإِنْ شَاءَ فَلْيَدَعْ
(رواه ابن ماجه)
 
“Barangsiapa yang mengikuti jenazah, maka hendaklah dia mengangkat dari seluruh sudut keranda, karena hal itu merupakan Sunnah. Apabila dia mau, maka hendaknya mengangkat hingga selesai. Dan kalau dia tidak mau, hendaknya dia tinggalkan.”
[HR Ibnu Majah, shahih].

Sementara itu, Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: "Menurutku, yang rajih dalam masalah ini adalah adanya keluasan dalam mengangkat jenazah. Maka hendaknya dikerjakan mana yang lebih mudah dan tidak memberatkan dirinya. Terkadang sifat tarbi' sulit untuk dikerjakan ketika banyak sekali orang yang mengiringi jenazah. Jadi akan menyulitkan orang yang mengangkat dan orang yang lain." [Lihat Asy Syarhul Mumti', hlm. 447]

5. Mengiringi dan mengangkat jenazah adalah khusus bagi kaum lelaki. Tidak boleh bagi wanita untuk mengiringi jenazah, karena hadits Ummu Athiyah menyatakan:

نُهِينَا عَنْ اتِّبَاعِ الْجَنَائِزِ وَلَمْ يُعْزَمْ عَلَيْنَا
(رواه البخاري)
 
Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, akan tetapi tidak ditekankan kepada kami.
[HR Bukhari].

6. Diperbolehkan berjalan di belakang jenazah atau di depannya.

Keduanya diriwayatkan dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, yang afdhal berjalan di belakangnya, sebagaimana mafhum dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

عُوْدُوْا الْمَرِيْضَ وَاتَّبِعُوْا الْجَنَائِزَ
(أخرجه الهيثمي)
 
Jenguklah orang yang sakit dan ikutilah jenazah.
[Dikeluarkan oleh Al Haitsami, shahih].

Dan hal ini dikuatkan oleh perkataan Ali Radhiyallahu 'anhu :

الْمَشْيُ خَلْفَهَا أَفْضَلُ مِنْ الْمَشْيِ أَمَامَهَا كَفَضْلِ صَلاَةِ الرَّجُلِ فِي جَمَاعَةٍ عَلَى صَلاَتِهِ فَذًّا
(أخرجه ابن أبي شيبة)
 
Berjalan di belakang jenazah lebih afdhal daripada berjalan di belakangnya seperti keutamaan seorang lelaki shalat berjamaah dibandingkan dengan shalat sendirian.
[Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, shahih].

Sedangkan orang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

الرَّاكِبُ يَسِيرُ خَلْفَ الْجَنَازَةِ
(رواه أبو داود)
 
Seorang yang naik kendaraan berjalan di belakang jenazah.
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani].

Yang lebih utama adalah berjalan daripada naik kendaraan. Sebagaimana yang diriwayatkan Tsauban Radhiyallahu 'anhu, ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengiringi jenazah, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam diberi kendaraan, namun Beliau tidak mau mengendarainya. Ketika pulang, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ditawari kendaraan lagi, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menerima dan mengendarainya. Kemudian Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya tentang hal itu, Beliau menjawab:

إِنَّ الْمَلَائِكَةَ كَانَتْ تَمْشِي فَلَمْ أَكُنْ لِأَرْكَبَ وَهُمْ يَمْشُونَ فَلَمَّا ذَهَبُوا رَكِبْتُ
(رواه أبو داود)

Sesungguhnya malaikat berjalan, maka aku tidak mau mengendarai sedangkan malaikat berjalan. Kemudian ketika mereka pergi, aku mau mengendarainya.
[HR Abu Dawud dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani]. Lihat pembahasan ini dalam Ahkamul Janaiz, hlm. 73-75.

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Dahulu, apabila Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyalatkan mayit, Beliau mengikutinya sampai kuburan, berjalan kaki di depannya. Hal ini merupakan sunnah Khulafaur Rasyidin sesudahnya. Disunnahkan bagi orang yang mengiringinya untuk berjalan di belakangnya. Apabila berjalan kaki, maka hendaknya mendekat kepada jenazah, di belakangnya atau di depannya atau di sebelah kanan dan kirinya. Dahulu, Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk bersegera ketika mengangkat jenazah, sehingga mereka dahulu sungguh berjalan dengan cepat. Adapun perbuatan manusia pada zaman sekarang dengan melangkah setapak demi setapak merupakan bid'ah yang dibenci lagi menyelisihi syari'at, dan menyerupai Ahli Kitab dari Yahudi." [Lihat Zaadul Ma'ad (1/498)].

7. Tidak diperbolehkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang menyelisihi Sunnah.
Misalnya seperti mengeraskan suara ketika menangis, berdzikir, mengucapkan tarahhum (berdo’a untuk mayit agar diberi rahmat).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Tidak dianjurkan untuk mengeraskan suara ketika mengiringi jenazah, baik dengan bacaan atau dzikir atau yang lain. Hal ini merupakan madzhab imam yang empat. Dan inilah yang kami ketahui dari salaf, dari para sahabat dan tabi'in. Aku tidak mengetahui seorangpun yang menyelisihinya." [Lihat Majmu' Fatawa (24/293,294)].

8. Diharamkan mengiringi jenazah dengan sesuatu yang mungkar, seperti memukul kendang, alat musik yang mencerminkan kesedihan, meratap dan yang lainnya. Demikian pula apabila wanita memukul rebana ketika jenazah diberangkatkan ke kuburan.

9. Apabila pada acara mengiringi jenazah terdapat kemungkaran, sedangkan dia tidak mampu untuk menghilangkan seluruhnya, maka dia tetap mengikuti jenazah tersebut, demikian menurut pendapat yang benar.

Pendapat ini merupakan satu diantara dua riwayat dari Imam Ahmad. Dan dia mengingkari kemungkaran sesuai dengan kemampuannya. [Lihat Al Akhbarul Ilmiyah Minal Ikhtiyarat Al Fiqhiyyah Li Syaikhil Islam Ibni Taimiyyah, hlm. 132].

10. Tidak mengapa mengiringi jenazah dengan naik mobil atau kendaraan yang lain apabila kuburan letaknya jauh.

Dianjurkan bagi orang yang mengiringi jenazah untuk khusyu' menghayati kematian dan memikirkan apa yang akan dialami oleh si mayit dan tidak membicarakan masalah duniawi.

11. Disunnahkan untuk tidak duduk hingga jenazah diletakkan di tanah. Rasullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا اتَّبَعْتُمْ جَنَازَةً فَلَا تَجْلِسُوا حَتَّى تُوضَعَ
(رواه البخاري ومسلم)
 
Apabila kalian mengikuti jenazah, maka janganlah duduk hingga diletakkan.
[HR Bukhari dan Muslim].

12. Disunnahkan bagi orang yang telah selesai mengangkat jenazah untuk wudhu'. 

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ غَسَّلَ مَيِّتًا فَلْيَغْتَسِلْ وَمَنْ حَمَلَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
(رواه أبو داود والترمذي)
 
Barangsiapa yang memandikan mayit, maka hendaklah dia mandi. Dan barangsiapa yang mengangkatnya, maka hendaklah dia berwudhu’.
[HR Abu Dawud, At Tirmidzi dan beliau menghasankannya)].


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11-12/Tahun VIII/1426H/2005]

(Lilik i (Abu Utsman))


Tidak ada komentar:

Posting Komentar